Islam yang  masuk di Indonesia adalah Islam tassawuf. Sebab, tassawuf adalah strategi Islamisasi yang tepat untuk masuk ke Nusantara pada waktu itu (abad ke-13). Meskipun sejarawan Indonesia mengemukakan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara sejak abad ke-7, melalui jalur perdagangan oleh pedagang Persia. Terlepas dari pertentangan masuknya Islam pada tahun/abad berapa, intinya Islam yang masuk sedari awal adalah Islam Tassawuf, Selain bukti naskah-naskah sufistik, peranan penting ajaran sufisme dalam proses dakwah Islam era Wali Songo ditandai oleh keberadaan sejumlah tarekat (thariqah) yang diamalkan masyarakat sampai saat ini, seperti Tarekat Syathariyah dan Akmaliyah yang dinisbatkan kepada ajaran tokoh-tokoh Wali Songo seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Syaikh Siti Jenar.

Agaknya hal ini yang menyebabkan kuat dan berkembangnya ajaran tasawwuf dengan organisasi tarekatnya di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sukses dari penyebaran Islam di Indonesia berkat aktifitas para pemimpin tarekat. Tidak dapat disangkal bahwa Islam di Indonesia adalah Islam versi tassawuf.

Melalui pendekatan sufisme, dakwah Islam era Wali Songo memasuki ranah adat-istiadat yang berhubungan dengan tradisi keagamaan baru. Melalui proses asimilasi dengan tradisi keagamaan Hindu-
Buddha yang disebut Sradha, misal, yaitu upacara “meruwat arwah” seseorang setelah dua belas tahun kematiannya, lahirlah tradisi baru Islam yang disebut yasinan atau tawasul, yaitu upacara “mengirim doa kepada arwah” orang mati setiap tahun yang sebagian bermakna mengucap syukur kepada Tuhan karena telah melimpahkan kesuburan dalam usaha pertanian dengan persembahan sesaji kepada perwakilan Tuhan yang kalau kita teliti pada ajaran tassawuf Imam Ghazalli yaitu diberi istillah Tajalli.

Asimilasi terus terjadi oleh para kaum Sufisme terhadap budaya Nusantara, melalui bahasa, yang dilakukannya proses pemelintiran kosa-kata sehingganya akan membuat masyarakat akan terjerumus secara mengalir dalam proses Islamisasi. Contohnya, seperti yang kita ketahui bersama bahwa keyakinan pertama yang ada di bumi Nusantara ialah keyakinan Kapitayan (versi Tanah Jawa) mungkin akan berbeda istillahnya pada setiap daerah di Nusantara, namun intisarinya sama. Dimana kapitayan ini mempunyai tempat ibadah yang diberi nama Sanggar lalu diadopsi oleh Wali Songo sehingganya berubah menjadi Langgar lalu ditambah mihrab, yang maksudnya ialah tempat ibadah kaum Muslim yang sekarang terpelintir terus sehingga menjadi surau dalam peristillahan Suku Melayu. Pengadopsian terhadap keyakinan kapitayan ini terus terjadi. Sehingganya Islam bisa terterima tanpa perang darah dengan masyarakat Nusantara asli.

Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh penganut keyakinan kapitayan bila ada keyakinan yang Tuhannya berwujud seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat Nusantara akan menolak. Sebelum Islampun bahkan segala keyakinan yang masuk akan diseleksi, termasuk hindu-budha. Namun, karena terdapat ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan/Dewa bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya ajaran itu bisa tergusur. Islam dalam konsep Tajjalipun seketika bisa digusur jika penyampaian serta tindakan yang dilakukan terlalu vulgar. Para kaum Sufistik cerdas melihat posisi itu sehingganya, menemui cela untuk masuk tanpa melunturkan Tauhid kepada Allah SWT.

Pelajaran tarekat dalam bentuk laku ruhani yang disebut mujahadah, muraqabah, dan musyahadah secara arif disampaikan Sunan Kalijaga baik secara tertutup (sirri) maupun secara terbuka. Pelajaran yang disampaikan secara tertutup diberikan kepada murid-murid ruhani sebagaimana layaknya proses pembelajaran di dalam sebuah tarekat. Sementara itu, pelajaran yang disampaikan secara terbuka, dilakukan melalui pembabaran esoteris kisah-kisah simbolik dalam pergelaran wayang, sehingga menjadi pesona tersendiri bagai masyarakat dalam menikmati pergelaran wayang yang digelar Sunan Kalijaga. Padahal, tanpa sadar masyarakat diayomi untuk masuk kedalam Islam.

Hal yang wajar apabila dalam perkembangan dakwah Islam selanjutnya tassawuf dan tarekat mempunyai pengaruh besar dalam berbagai kehidupan sosial, budaya dan pendidikan yang banyak tergambar dalam dinamika dunia pesantren (pondok). Pada umumnya tradisi pesantren bernafaskan sufistik, karena banyak ulama berafiliasi dengan tarekat. Mereka mengajarkan kepada pengikutnya amalan sufistik. Kondisi semacam ini mempermudah tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi tarekat yang berkembang di duinia Islam. Di Indonesia banyak sekali tarekat yang berkembang dan tersebar di berbagai daerah. Abubakar Aceh menyebutkan, di Indonesia terdapat sekitar 41 ajaran tarekat. Sedangkan Nahdhatul Ulama (NU) melalui Jam’iyah Thariqat Mu’tabaroh Al-Nahdhiyyah-nya mengatakan, jumlah tarekat di Indonesia yang diakui keabsahannya (mu’tabaroh) sampai saat ini ada 46 thariqat. Hal ini menunjukkan bahwa tarekat yang berkembang di Indonesia, bahkan di dunia Islam banyak sekali jumlahnya. Banyaknya organisasi-organisasi atau kelompok tarekat, secara tidak langsung bisa membuktikan bahwa peran tassawuf dalam proses Islamisasi Indonesia itu sangat aktif, sejak era Wali Songo hingga Ulama sekarang, mayoritas bertarekat. Walau ada yang tidak mengaku sebagai sufisme namun perilakunya mencerminkan sebagaimana seorang pelaku sufistik sejati.

Pada bagian ini, saya ingin mengajak kepada para generasi muda yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia agar kita bisa bersama-sama untuk memerjuangkan Gerakan Islam Nusantara dengan membanggakan identitas diri yang menjadi ciri khas bagi Muslim di Indonesia. Terkadang masalah sepele seperti budaya/adat akan menjadi kompleks jika tidak ada ilmu pengetahuan terhadap Islam maupun adat/budaya serta sejarah. Saya berharap agar kita tetap menjadi penggerak yang senantiasa bergerak.

Penulis
Galang Parenrengi (Ketua Komisariat PMII UNG 2020)

Wallahul Muwafiqq Ilaa Aqwamit Thoriq, Wassalamu ‘Allaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.