“Media massa sebagai alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksi,” (McQuail, 1987: 63). 

Sebagaimana kutipan di atas oleh McQuail yang menunjukkan bahwa, media massa telah menjadi ladang bisnis yang kekinian. Menurut Dewan Pers,”para politisi dan partai politik telah menjadikan sejumlah media massa sebagai kendaraan pada setiap kontestasi pemilu.” Dengan terjunnya para bussines man sekaligus politisi di ranah media akan membuat pers rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik dan ladang uang. Mereka dapat melakukan penggiringan opini publik hingga propaganda untuk memberi keuntungan kepada kelompoknya atau dirinya sendiri. Ini menyebabkan pemberitaan di media menjadi kurang akurat, berimbang, dan sangat eksploitatif. Akhirnya, media massa banyak mendapat intervensi dari luar, lemahnya akses bagi kelompok rentan, dan rendahnya keragaman pandangan di dunia pers.

Pada kesimpulan Bab II dalam buku Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizen, and the Digital Revolution yang ditulis oleh Ross Tapsell sebagai riset doktoralnya mengatakan, “Perusahan-perusahaan media global belum mendominasi pasar Indonesia dan bukan pendorong utama industri di Indonesia. Sebaliknya, konglomerat media nasional yang punya kuasa dan pengaruh.” Misalnya, CT Corp, perusahaan milik konglomerat yang sempat jadi Menko Perekonomian selama lima bulan di era Susilo Bambang Yudhoyono yang membeli 55 persen saham TV 7 dari Kompas pada 2006 yang kini, telah menjadi Trans7. Dengan menerapkan konvergensi dapur redaksi dikarenakan Chairul Tanjung memiliki dua stasiun TV, maka disatukanlah antara Trans TV dan Trans7. Kemudian, pada 2011, Tanjung membeli Detik.com, Telkomvision, Cable Network, yang dinamai ulang menjadi Transvision pada 2012. Dengan pola yang sama, Tanjung melakukan kerja sama dengan CNN dan segera membentuk CNN Indonesia pada 2013 kemudian, CNN Indonesia hadir bukan sekedar portal berita online namun, sebagai stasiun televisi. Pada februari 2018, Tanjung menghadiri peresmian CNBC yang juga bekerja sama jadi bagian dari konglomerasi media CT Corp.

Hal serupa dilakukan oleh pencetus partai Perindo yakni, Hary Tanoesoedibjo yang memulai proses pemantapan sekaligus meluaskan bisnis media pada awal 2000-an. Selain memiliki tiga stasiun TV (MNCTV, RCTI, dan Global TV), Global Mediacom memiliki 34 radio lokal yang telah diakuisisi sejak 2005. Koran Sindo News dan portal berita Okezone juga masuk kelompok ini. Dalam buku Tapsell, MNC dicatat punya satu satelit sendiri yang dibeli di tahun 2010, dan punya kapasitas 160 kanal. MNC Group itu sendiri memiliki 19 kanal TV berbayar, 46 stasiun TV lokal, dan 2,6 juta pelanggan lewat IndoVision, TopTV, dan OKVision. Ekspansi yang membesar pada 2015 ketika I-News, stasiun berita 24 jam, diluncurkan pasca – MNC Group menghabiskan 250 juta dolar AS untuk membeli 40 fasilitas studio di Jakarta Pusat.

Belum lagi, Emtek Group milik Eddy Sariaatmadja yang digadang-gadang adalah perusahaan yang memiliki penghasilan terbesar dalam dunia pertelevisian di Indonesia, hal ini disebabkan oleh iklan-iklan yang mulai membanjiri stasiun-stasiun TV yang tergabung dalam Emtek Group misalnya, SCTV dan Indosiar. Ada pun Ketua Umum Partai Golongan Karya, Aburizal Bakrie dengan TVOne, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh dengan MetroTVnya, Erick Tohir yang menjabat sebagai Menteri BUMN dengan ANTVnya, dan Dahlan Iskan yang memiliki Jawa Pos. Dengan dimilikinya berbagai media oleh para elit penguasa (pemerintah) sebagai alat untuk memainkan skema yang sedemikian rupa, sebagaimana yang dijelaskan oleh McQuail (2005: 95), ”adalah sentral bagi penafsiran kaum Marxis atas media massa, Sebab media sering dijadikan alat kontrol oleh dan untuk kelas penguasa,” atau menurut Gramsci (1971) yang melihat media sebagai alat hegemonik kaum kapitalis. Dalam penjelasan Mohamad Reza selaku dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) yang telah menjadi salah satu komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada saat proses perkuliahan, “perdagangan masa depan adalah perdagangan frekuensi.” Sehingga, kita tidak perlu heran tentang para bussines man sekaligus politisi dalam memperkaya diri sendiri dan kelompok. McQuail (2005: 96) menerangkan secara jelas, “media massa milik kaum borjuis dan beroperasi demi mengambil kepentingan mereka. Media kesadaran palsu kelas pekerja dan menutup peluang lahirnya oposisi politik. Fungsi lain media dalam kacamata Marxis adalah menyebarkan ideologi yang mendukung bangunan sosial, politik dan ekonomi yang sudah mapan.” Sehingganya, fungsi media sebagai alat integrasi dan kerja sama, mengontrol dan memelihara stabilitas, mengadaptasikan perubahan, memobilisasi massa, mengatur konflik dan melanjutkan dan menguatkan nilai dan kultur positif dari masyarakat. Herbert Marcuse dalam bukunya yang berjudul Toleransi Yang Menindas menjelaskan bahwa semua hal yang berbau utopis tadi bisa tercapai jika masyarakat memiliki sebuah kesadaran murni. Menjadi big problem jika masyarakat tersebut tidak memiliki sebuah kesadaran murni tadi, kesadaran murni berfungsi sebagai pemantik dalam proses menggunakan media yang baik, benar dan tentunya bijaksana.

Literasi media menjadi solusi untuk menimbulkan kesadaran murni bagi masyarakat dalam bermedia. “Keunggulan dari media massa memiliki kemampuan untuk menyediakan sebuah forum bagi setiap warga negara untuk melakukan diskusi serta debat politik melalui ruang media .” (Heywood, 2013) Namun, di sisi lain hal ini menjadi boomerang bagi masyarakat itu sendiri jika tidak diliputi oleh kesadaran murni terhadap wawasan dalam literasi media. Hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada tahun 2017 menunjukkan jumlah pengguna internet telah mencapai 143,26 juta jiwa atau setara dengan 54,68% dari total jumlah penduduk Indonesia. Berkembangnya media massa online di Indonesia berakibat pada semakin menguatnya penetrasi internet dalam ruang sosial politik masyarakat. Dengan pemilik media adalah para penguasa, maka pusat kontrol informasi dikelola oleh pihak pemerintahan dalam menaikkan citra dan banyaknya media lokal yang lose controlling oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ini membuat para masyarakat kebingungan dalam mencerna informasi yang benar dikarenakan media hanya fokus pada cost dari berita bukan karena kualitas dari berita tersebut. 

high tech – low hand” yang dikatakan oleh Komaruddin Hidayat dalam bukunya Wisdom of Life menjadi kutipan yang tepat dalam menjelaskan subjeknya masalah, kenyataan perihal berkembangnya teknologi informasi dengan cepat sehingga memungkinkan pengguna media untuk melek informasi dan mengimbanginya dengan kecerdasan dalam mengolah informasi agar tidak selalu berkutat pada arus informasi yang keliru dan Hoax. Dunia pendidikan harus menjadi pioner media yang netral, yang lepas dari berbagai kepentingan elit. Dengan ini, pengetahuan literasi media dan informasi dalam dunia pendidikan harus tidak bisa ditanggalkan. Yang dimaksud dengan literasi media di atas adalah “ability to acces, analize, ecaluate, and communicate the content of media messages.” Literasi media juga bermakna, “kemampuan untuk memahami, menganalisis dan mendekonstruksi pencitraan media. Kemampuan untuk melakukan ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media massa termasuk anak-anak menjadi sadar atau melek tentang cara media dikonstruksi/dibuat dan diakses.” (Harjanto, 2006: 247). “Keterbukaan informasi dan komunikasi mempermudah partisipasi kaum muda dalam kehidupan berpolitik, dengan dijaminnya kebebasan untuk mengajukan pertanyaan yang baik, mencari informasi tentang isu-isu yang relevan, mengevaluasi kualitas informasi yang tersedia, dan terlibat dalam dialog dengan orang lain. Literasi media merupakan salah satu komponen utama agar menjadi warga negara yang aktif dan penuh tanggung jawab dalam rangka menumbuhkan jiwa kritis dalam kehidupan masyarakat.” (Rivoltella, 2008). Literasi berkaitan dengan adanya keterlibatan warga negara, yaitu “Making the connections between media literacy, freedom of expression, and civic engagement can reposition media literacy as the core of new civic education.” (Mihalidis, 2013). Adanya media literasi bukan berarti kita dengan semena-mena dalam berekspresi, berperilaku, bersikap, ataupun berpartisipasi dalam ruang lingkup politik. Jikalau masyarakat melakukan hal itu dengan membabi buta, maka akan terjadi sebuah klise dalam penyebaran informasi. Misalnya, tokoh agama akan menggunakan agamanya sebagai bahan dalam hegemoni masyarakat agar yang ia dukung akan terpilih, tokoh adat akan menggunakan isu egosentris dalam proses perpolitikan. Big problem akan leluasa untuk memprakarsai permusuhan serta menjauhkan khalayak dari kebenaran.

Mengutip dari buku Gerakan Literasi Media di Indonesia yang diterbitkan oleh Rumah Sinema, “Para aktivis literasi media di Indonesia saat ini dapat dikategorikan dalam enam kelompok. Kelompok pertama adalah LSM dan yayasan, kegiatan yang mereka lakukan biasanya merupakan program “intervensi” atau pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelatihan, seminar, atau pendampingan. Kelompok kedua adalah sekolah, Biasanya, materi literasi media dileburkan dalam kurikulum atau diberikan sebagai ekstrakurikuler. Kelompok ketiga terdiri dari perguruan tinggi, bentuk kegiatan yang dilakukan kelompok ini biasanya berupa seminar, pelatihan, atau sebagai materi perkuliahan. Kelompok keempat adalah masyarakat umum yang aktif meningkatkan literasi media di lingkungan mereka sendiri. Kelompok kelima berisi lembaga-lembaga yang tidak masuk dalam keempat kategori sebelumnya: pemerintah (seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak), Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, Unicef, dan Unesco. Kelompok keenam adalah gabungan dari berbagai lembaga, seperti Koalisi Kampanye Hari Tanpa TV (2006-2011) yang meminta keluarga dengan anak-anak untuk mematikan televisi selama satu hari dalam rangka Hari Anak Nasional.” Temuan menarik dalam kutipan di atas adalah bahwa sekolah bukan aktor utama dalam program-program literasi media. Hal ini berbeda dengan kondisi di Inggris, AS, Kanada, Australia, atau Jepang (lihat Duncan dkk, 2002; Bakar & Duran, 2007; Suzuki, 2009; Ofcom, 2011). Program literasi media di negara-negara tersebut terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar karena literasi media dianggap sebagai keterampilan untuk hidup (life skill) yang harus diperkenalkan sejak dini. Di Indonesia, sekolah baru menjadi aktor literasi media bila telah merasakan manfaat program ini bagi para siswanya. Dengan tidak adanya dukungan kepada pegiat literasi dari pemerintah tentunya membuat beberapa gerakan literasi media yang dipelopori oleh orang yang masih peduli, misalnya para mahasiswa terhadap literasi mediapun merosot. Dengan adanya para korporasi media besar yang menjadi pemegang kekuasaan di kepemerintahan, gerakan ini menuai kemandekan dikarenakan, kekhawatiran mereka terhadap masyarakat yang kelak akan menjadi cerdas dalam bermedia sehingga, stasiun TV dan media cetak yang mereka miliki akan terancam. 

Penulis


Galang Parenrengi (Ketua Komisariat PMII UNG 2020-2021)


Tabik,

Wallahul Mustaan, Wallahul Muwafiq ilaa Aqwamit Thoriq.

Wassalamu 'alaaikum Warohmatullah Wabarokatuh.